Bersatu, Berjuang Untuk Demokrasi dan Kesejahteraan

Selasa, 19 Oktober 2010

Pemerintah Belum Mampu Wujudkan Keadilan

Pemerintah belum mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia seperti yang diamanatkan Pancasila. Demikian orasi dalam unjuk rasa Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) Bandar Lampung dalam memperingati Hari Internasional Penghapusakn Kemiskinan. Unjuk rasa digelar di depan Kantor Pemkot Bandar Lampung di Jalan dr. Susilo, Senin (18-10).
Puluhan pengunjuk rasa meneriakkan perubahan kriteria miskin versi Badan Pusat Statistik (BPS).
Ketua SRMI Bandar Lampung Silvia mengatakan persoalan kemiskinan bukanlah masalah sederhana. Program Millenium Development Goals (MDG's) belum mampu membuat rakyat makin sejahtera. Pemerintah belum mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia seperti yang diamanatkan dalam Pancasila.
SRMI mengolah skema pembangunan berdasarkan MDG's yang tidak bisa menjawab persoalan kemiskinan. Ormas ini juga menuntut perubahan kriteria miskin versi BPS.
Peserta aksi, Lamen, mengatakan kriteria miskin yakni jika penghasilan seseorang per hari tidak sampai 2 dolar AS. "Tidak peduli apakah orang memiliki motor atau tidak. Jika penghasilannya kurang dari 2 dolar per hari, yang bersangkutan (disebut) miskin," kata Lamen.
SRMI juga menuntut agar Pemkot menggratiskan pembuatan dokumen kependudukan secara massal, menyediakan tanah, modal, rumah, dan teknologi modern dan lapangan kerja serta mewujudkan kedaulatan ekonomi, sosial, hukum-HAM, budaya untuk kesejahteraan rakyat.
Silvia mengatakan Pemkot harus menuntaskan sengketa dan konflik tanah warga Panjang dan Telukbetung Selatan dengan PT Pelindo II Cabang Panjang. Pemkot juga harus memperbesar anggaran pendidikan dan kesehatan untuk kesejahteraan rakyat.
(Sumber Lampung Post)

Sabtu, 16 Oktober 2010

Tuntaskan Sengketa Agraria ! Wujudkan Kedaulatan Politik, Ekonomi, Hukum, Sosial dan Budaya Untuk Kesejahteraan Rakya

Semenjak kemerdekaan enam puluh lima tahun silam, Republik Indonesia di bangun berdasarkan semangat mencerdaskan bangsa, dan membawa rakyat negeri ini terbebas dari alam kemiskinan dan ketidakadilan. Yang tertuang di dalam sila-sila Pancasila, Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, seharusnya rakyat Indonesia tidak lagi harus di pusingkan persoalan tempat tinggal, biaya pendidikan dan kesehatan yang mahal, dan tidak ada lagi ketakutan akan tabung gas yang siap meledak ketika memasak, dan masih banyak lagi persoalan-persoalan lainnya.

Namun nyatanya saat ini kebijakan yang di lakukan oleh pemerintah yang menganut sistem NEOLIBERALISME terus menjerat rakyat dalam dunia kemiskinan, dalam segala sektor rakyat di tindas, misalnya di sektor pendidikan dengan program swastanisasi (Privatisasi) sekolah-sekolah (BHPT, RSI, RSBI dll) yang mengakibatkan mahalnya biaya pendidikan yang menjadi pemicu naiknya angka putus sekolah dan bertentangan dengan cita-cita mencerdaskan anak bangsa serta untuk meningkatkan sumber daya manusia yang berkwalitas hingga mampu berdaya saing diera globalisasi yang NEOLIB-KAPITAL.

Ditambah lagi dengan permasalahan tidak adanya lapangan pekerjaan, kita ketahui angka pengangguran dan PHK terus bertambah sebut saja Provinsi Lampung dengan angka pengangguran 250 ribu orang, seiring merontoknya industri dalam negeri, serta merosotnya produksi pertanian. Situasi tersebut disebabkan oleh kebijakan ekonomi pasar bebas (neoliberal) yang dijalankan pemerintah. Sebagai solusi untuk bertahan hidup, rakyat ‘temukan' sumber penghasilan sendiri, seperti menjadi pengojek, atau terjun ke sektor informal lainnya bahkan ada yang menjual tubuhnya demi sesuap nasi, padahal Indonesia sangat kaya akan sumber daya alam (Tambang, Gas, Minyak, Batu bara, Emas, dll).

Di seKtor pertanian seharusnya Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) harus mampu menyentuh keadilan bagi kaum tani yang selama ini menuntut pengembalian haknya atas tanah yang di rampas baik oleh institusi Negara maupun perkebunan baik swasta maupun asing dalam catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sepanjang 2007, mencatat peningkatan kekerasan terhadap petani. Setidaknya ada 80 kasus konflik agraria struktural di seluruh Indonesia. Mayoritas konflik agraria ini terjadi di sektor perkebunan dan kehutanan. Tanah yang dipersengketakan 163.714,6 hektare yang melibatkan 36.656 KK, dan 10.958 KK diantaranya dipaksa keluar dari lahan sengketa dan dalam kurun waktu tiga tahun (2010) tanah yang menhadi sengketa di Indonesia seluas 7,4 juta Hektare. Semestinya Pemerintah mengaktifkan kembali menteri di bidang agraris untuk menjalankan amanat UUPA/1960 agar penyelesaian konflik dan sengketa agrarian secara nasional dapat segera tertuntaskan.

Dalam sektor perekonmian, kecilnya peran yang diberikan kepada rakyat dalam memanfaatkan sumber-sumber ekonomi yang produktif (pertambangan, pertanian, kehutanan, telekomunikasi, pengangkutan, listrik, dan lain-lain) mengakibatkan kemiskinan. Negara menyerahkan pengelolaan sumber-sumber ekonomi itu sepenuhnya kepada pihak asing, sedangkan pemerintah cukup menerima “persenan” sedangkan rakyat Indonesia tidak memperoleh apa-apa; misalnya, meskipun kita pengekspor gas nomor satu di dunia, tetapi dimana-mana rakyat menjerit dengan mahalnya harga gas dan kembali harganya akan di naikkan oleh rezim SBY-Boediono di tahun 2011. Bukan hanya gas saja yang akan di naikkan tetapi juga meliputi TDL, BBM, Dll. Diperparah dengan Ketahanan Pangan yang Gagal secara Nasional. .

Biaya Kesehatan yang mahal masih menjadi masalah klasik di Negara kita ini, meski Pemerintah telah menggulirkan bantuan di bidang Kesehatan tetapi hal ini belum menyeluruh, misalnya tidak semua obat-obatan dan alat kesehatan bisa di peroleh secara Gratis, di perparah lagi masih sering terjadinya pengusiran oleh pihak rumah sakit terhadap pasien miskin, dengan menyampingkan sisi kemanusiaan dan moral serta bertentangan dengan Undang-undang 1945.

Kamis, 14 Oktober 2010

Tragedi UBL Berdarah: Mahasiswa Tuntut Penyelesaian Tuntas

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Mandek dan tak ada penyelesaian. Begitulah makna aksi teatrikal oleh puluhan mahasiswa yang tergabung Komite 28 September dalam memperingati tragedi UBL Berdarah, Selasa (28-9).

PERINGATAN UBL BERDARAH. Puluhan mahasiswa menggelar aksi solidaritas ddi depan kampus Universitas Bandar Lampung (UBL), Selasa (28-9) memperingati 11 tahun Tragedi UBL Berdarah pada 28 September 1999. (LAMPUNG POST/ZAINUDDIN)

Telah 11 tahun sejak peristiwa unjuk rasa damai mahasiswa yang dibalas tembakan dan pukulan aparat keamanan yang mengakibatkan dua aktivis mahasiswa, M. Yusuf Rizal dan Saidatul Fitria, tewas.

Kala itu, Yusuf Rizal turut ambil bagian dalam aksi mahasiswa menolak Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB). Saidatul adalah aktivis pers mahasiswa pada surat kabar mahasiswa Teknokra yang tengah meliput peristiwa itu. Yusuf Rizal tewas diterjang peluru. Saidatul tewas dipukul popor senapan aparat keamanan.

Dalam pernyataan sikap yang disampaikan di depan kampus UBL kemarin, puluhan mahasiswa itu menuntut pengusutan tuntas kasus tersebut. Aksi diikuti oleh beberapa organisasi kemahasiswaan, seperti Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa Teknokra Unila, Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni Universitas Bandar Lampung, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Partai Rakyat Demokratik (PRD), dan SEMI.

Koordinator lapangan, Amir Harmidan (UKMBS UBL), dalam orasinya menyatakan sangatlah miris jika masyarakat Lampung melupakannya. "Tragedi ini terjadi ketika mahasiswa bersatu menolak kebijakan pemerintah karena bertentangan dengan semangat reformasi," kata Amir.

Ary Beni Santoso dari SKM Teknokra dalam orasinya menuntut perguruan tinggi membuat tugu peringatan. "Agar pengorbanan mereka tidak sia-sia dan semangat berjuang untuk keadilan dan masyarakat tetap terjaga," kata dia.

Sementara guru besar Unila, Irwan Effendi, yang merupakan saksi kunci peristiwa itu, kepada Lampung Post menceritakan penembakan itu tidak semestinya terjadi. "Hasil perundingan di Korem (Garuda Hitam, red), disepakati mahasiswa naik bus untuk langsung ke kantor gubernur. Ada 20 bus yang disiapkan, tapi entah dari mana ada lemparan batu dan terjadilah chaos dan penembakan itu," kata Irwan Effendi.

Berhentinya penyidikan kasus ini, menurut Irwan, karena pihak keluarga tidak melanjutkan tuntutan. Demikian halnya dengan Unila. "Saya tak tahu persis proses penyidikannya karena saya hanya ditugaskan untuk berunding," kata Irwan. (MG14/U-2)

Sumber: Lampung Post, Rabu, 29 September 2010

Komite 28 September ; Usut Tuntas Tragedi UBL Berdarah

Sejumlah aktifis di berbagai elemen kampus dan ekstra kampus yang menamakan diri komite 28 September ini, kemarin (28/9), melakukan demonstrasi dan orasi untuk memperingati tragedi 11 tahun UBL berdarah di depan kampus A Universitas Bandar Lampung, jalan ZA Pagar Alam No 26 Labuhan Ratu Bandar Lampung.
Dalam orasinya, aksi demonstrasi yang terdiri dari berbagai elemen gabungan seperti  UKM BS UBL, Mapala UBL, Teknokra Unila, Liga Mahasiswa Nasional Demokrat (LMND), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD) ini menuntut agar pemerintah kota Bandar Lampung dapat membuat tugu peringatan tragedi pelanggaran UBL berdarah.
Selain itu juga, seperti dari aksi-aksi tahun sebelumnya, sejumlah elemen tersebut tak henti-henti menyuarakan pengusutan tuntas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang terjadi pada tragedi UBL berdarah tersebut.
Menurut koordinator lapangan pada aksi tersebut, Amir Hamzah, sejak tragedi tersebut hingga kini belum ada tindak lanjut pengusutan tuntas kasus tersebut. Upaya yang dilakukan oleh berbagai elemen perjuangan mahasiswa pun bukanlah hanya sekedar aksi
semata melainkan juga pernah berdiskusi dan meminta pemerintah kota Bandar Lampung untuk mengusut tuntas kasus tersebut.
“Pada zaman kepemimpinan Walikota Edy Sutrisno kami telah pernah menyuarakan untuk mengusut tuntas tragedi tersebut sekaligus juga membuat tugu peringatan tragedi tersebut. Namun menurutnya sangatlah disayangkan, hingga kini pemerintah daerah kita hanyalah menutup mata dan telinga terhadap kasus tersebut ” ungkapnya.
Sementara itu, Ari Beni Santoso dari UKM Teknokra Unila, kepada Radar Lampung( Grup Radar Lamsel) mengatakan bahwa demontrasi ini adalah sebagai bentuk penegasan ulang kepada pemerintah untuk dapat mengusut tuntas pelanggaran HAM yang terjadi dalam tragedi tersebut.
“Saudara kami Saidatul Fitria dan Yusuf Rizal saat melakukan respon serentak di daerah untuk menolak Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya era Gusdur tewas akibat kebrutalan aparat militer” ungkapnya.
Tak hanya itu dari aksi yang dimulai pukul 09.30 sampai 11.00 WIB ini sejumlah elemen tersebut pun mengajak berbagai elemen untuk peduli pada demokratisasi untuk kembali menyuarakan sikap bersama termasuk meminta penghentian kekerasan terhadap wartawan.
Tak hanya melakukan orasi, aksi yang dijaga ketat oleh aparat keamanan dari Polresta dan Polsek Kedaton, Bandar Lampung ini ditandai pula dengan aksi teatrikal tentang kekejaman militer dan ditutup dengan pembakaran keranda sebagai salah satu bentuk protes matinya demokrasi di negeri ini

Selamat Datang

Salam Pembebasan..................