Bersatu, Berjuang Untuk Demokrasi dan Kesejahteraan

Sabtu, 11 Februari 2012

Penggusuran Salah Alamat, PKL di Penjaringan Lakukan Protes


Oscar Ferri / PT. Media Nusa Pradana
Sejumlah pedagang kaki lima di Jl Pluit Karang Karya 1, Penjaringan, Jakarta Utara tampak berjaga dari rencana penggusuran Kecamatan Penjaringan.

Jurnas.com | SEJUMLAH pedagang kaki lima (PKL) dan anggota Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) melakukan protes terhadap rencana penggusuran lokasi usaha PKL JU-31 di Jl Pluit Karang Karya 1, RT 07 / RW 016, Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.

Selain berjaga di lokasi usaha, mereka juga akan melakukan protes ke kantor Kecamatan Penjaringan. "Kita akan protes ke kecamatan. Kami mau minta klarifikasi," ucap Ketua Umum SRMI, Marlo Sitompul saat ditemui di lokasi, Senin (30/1).

Dijelaskan Marlo, para pedagang di lokasi usaha JU-31 ini beberapa kali mendapat surat peringatan dari Kecamatan Penjaringan soal penggusuran lokasi usaha PKL. Namun, dalam surat-surat tersebut, yang tertulis adalah lokasi usaha PKL JU-28. "Itu salah alamat. Sehingga kami berpikir ini ada sesuatu di balik rencana penggusaran ini," kata Marlo.

Marlo mengatakan, surat-surat peringatan penggusuran itu diterima para pedagang dari anggota Satpol PP. "Terakhir, Jumat (27/1) kemarin surat dikasih. Buat kami, kedatangan Satpol PP itu sudah meresahkan kami," ucap Marlo.

Adapun di lokasi usaha PKL JU-31 ini ada sekitar 50 pedagang. "Kita sudah 20 tahun lebih berdagang di sini. Kalau digusur berarti ada 50 orang yang akan kehilangan mata pencahariannya," ujar Pengurus Lingkungan setempat, Subawi.

Di dalam surat peringatan tertanggal 27 Januari 2012 yang ditandatangani Camat Penjaringan, Rusdiyanto, tertulis bahwa pemilik bangunan, PKL, dan pihak-pihak yang menggunakan atau memanfaatkan jalur hijau di sepanjang Jl Pluit Karang Karya 1 untuk segera membongkar sendiri gubuk/tenda/tempat usaha kaki limanya. Bila dalam jangka waktu 1x24 jam tidak dibongkar, maka akan dilaksanakan pembongkaran oleh Tim Terpadu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. "Tapi kami menduga, ini ada sesuatu atau kongkalikong dengan perusahaan-perusahaan yang ada di depan lokasi JU-31 ini untuk dijadikan lahan parkir mereka, bukan untuk jalur hijau. Jika penggusuran dilakukan, maka ini juga tidak sesuai dengan pernyataan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo yang ingin menyejahterakan pedagang kaki lima," kata Marlo menambahkan.

Karena itu, Marlo bersama para PKL di lokasi usaha JU-31 ini berharap, pihak Kecamatan Penjaringan tidak melakukan penggusuran. "Tapi direnovasi, ditata, dirapihkan," ujarnya.

Pengamatan Jurnal Nasional, hampir semua tempat usaha di lokasi JU-31 ini tutup. Mereka lebih memilih untuk melakukan aksi protes demi mempertahankan tempat usaha mereka. Sementara, tidak terlihat satu pun anggota Satpol PP di lokasi usaha JU-31.

Jurnal Nasional mencoba meminta kejelasan dari Camat penjaringan Rusdiyanto. Namun, saat dihubungi handphonenya tidak aktif, dan saat di SMS belum ada jawaban.

di kutip dari : Jurnas com Jakarta | Monday, 30 January 2012 | Oscar Ferri |

Senin, 26 Desember 2011

Pernyataan Sikap Pemisahan Diri SRMI (Serikat Rakyat Miskin Indonesia) dari PRD (Partai Rakyat Demokratik)


Kawan-kawan sekalian,
Hari ini kita akan membuat sebuah keputusan penting, yang tak habis-habisnya kita diskusikan selama setahun terakhir. Sebuah keputusan yang akan menegaskan siapa diri kita sebenarnya, dan siapa-siapa yang berupaya menjegal kerja-kerja politik kita di dalam memperjuangkan rakyat miskin. Tentunya juga sebuah keputusan yang akan membuka jalan tentang bagaimana kita akan berjuang di masa depan. Isi dari keputusan itu adalah penegasan sikap dan pemikiran kita terhadap Partai Rakyat Demokratik (PRD).

Pertama-tama, perlu kami tegaskan bahwa Serikat Rakyat Miskin Indonesia, adalah organisasi independen yang berafiliasi politik kepada Partai Rakyat Demokratik, sejak pendiriannya di tahun 2004. Artinya organisasi ini adalah organisasi masyarakat yang dibentuk oleh rakyat yang bersimpati terhadap perjuangan Partai Rakyat Demokratik. Karenanya juga, organisasi ini juga berupaya untuk berlibat secara aktif dengan berbagai aktivitas Partai Rakyat Demokratik.

Akan tetapi ini tidak berarti bahwa SRMI adalah organisasi sayap (underbouw) PRD. Sehingga tidak semua kebijakan PRD harus disetujui bulat-bulat, dan kita pun berhak untuk mengajukan keberatan terhadap kebijakan PRD yang tidak sesuai dengan garis perjuangan SRMI.

Semuanya telah diatur menurut konstitusi berikut mekanisme-mekanisme pengambilan keputusannya. Kendati demikian periode setahun belakangan sepanjang kami bekerja sama dengan PRD, setiap harinya membuat kami selalu bertanya-tanya apakah PRD itu memang sebuah partai. Paling tidak dalam rangka kepemimpinan kami di SRMI, kami selalu bertanya kepada para pimpinan Partai apakah mereka paham atau tidak dengan realitas rakyat miskin. Tidak pernah ada penjelasan yang cukup rinci terhadap pertanyaan-pertanyaan kami, sebaliknya kami malah dituduh membawa tendensi sektarianisme di dalam tubuh partai.

Ya sudahlah, mungkin kami dan kita memang sektarian, memang suka mengisolasi diri dari massa. Karenanya kami anggap tuduhan itu sebagai pernyataan yang belum berdasar atas upaya mencari informasi yang lebih jauh tentang SRMI. Sedemikian sektariannya kami dan kita ini sehingga kemampuan kita untuk berkeliling di 47 kelurahan di DKI Jakarta misalnya benar-benar diabaikan, dan pikiran kita untuk mengembangkan partai dari jalur ormas dengan begitu menjadi tidak masuk akal bagi para pimpinan PRD.

Pada titik inilah, titik pengertian tentang siapa itu massa-rakyat kami berselisih pendapat dengan para pimpinan PRD.
Bagi para pimpinan PRD massa rakyat adalah lumbung suara untuk menghadapi Pemilu 2014 Tidak lebih tidak kurang, massa rakyat hanya dilihat sebagai jumlah, dan bukan sebagai pikiran.

Bagi kami massa rakyat adalah teman seperjuangan. Kami, mereka, kita saling berbagi dan saling menguatkan untuk menghadapi problem-problem kemiskinan. Karenanya kami belajar bersama rakyat untuk saling memberdayakan satu dengan yang lain. Rakyat harus berdaya politik dan karenanya rakyat harus sehat dan berbudaya.

Kedua, selama setahun ini kami ataupun kita terus bertanya-tanya apa sebenarnya yang sedang dikerjakan dan diperjuangkan oleh PRD secara kongkret di lapangan. Tidak tampak lagi adanya upaya untuk membangun gerakan politik yang dapat mengajukan isu-isu yang progresif. Yang paling belakangan pun mengenai pasal 33 pun gagal menjadi jawaban atas problem resesi ekonomi yang dihadapi oleh sebagian besar rakyat miskin di negeri ini. Oke, silahkan PRD menggugat semua undang-undang yang pro neolib via mahkamah konstitusi. Hebat kedengarannya. Tapi apakah para pimpinan PRD paham bahwa 'keadaan darurat' itu bukan sesuatu yang kebetulan bagi hidup rakyat miskin dan kaum buruh di negeri ini. "Keadaan darurat" adalah tata cara hidup rakyat miskin dan kaum buruh, yang membuat mereka harus terus menerus bersiasat setiap hari, saling mencurigai satu dengan yang lain, saling bertarung satu dengan yang lain, sampai menjadi uang dan kekerasan sebagai berhala kehidupan mereka.

Kami sebagai pimpinan SRMI tidak pernah terlalu yakin dengan apapun yang dikerjakan ataupun dipikirkan oleh para pimpinan PRD. Lantaran semuanya serba kabur dan serba tidak terlihat hubungan antara teori dan prakteknya. Sehingga perlu kami tegaskan bahwa kami tidak pernah mengerti tentang apa sebenarnya yang sedang dilakukan oleh para pimpinan PRD. Dan ketika kami mencoba mempertanyakannya, kembali lagi tuduhan 'sektarianisme, pembangkangan, indisipliner'. Tampaknya para pimpinan PRD ini pengetahuan berbahasanya semakin terbatas, kendati sudah beberapa dari mereka menerbitkan buku puisi.

Hal ketiga, yang paling membuat kami geram adalah upaya para pimpinan PRD untuk memecah belah SRMI dari dalam, baik secara terbuka maupun secara konspiratif. Apakah itu melalui penyebarluasan intrik. ataukah itu melalui intimidasi terhadap kader kader SRMI di daerah, terus terang semua membuat kami kewalahan. Dan harus kami akui bahwa di sanalah ternyata keunggulan dari para pimpinan PRD. Bukannya dengan sabar berupaya melakukan berbagai negosiasi dengan ormas-ormasnya, tapi malah menciptakan situasi yang penuh ketegangan di dalam hubungan organisasi, yang memaksa kader-kadernya untuk menjadi bodoh di dalam berpolitik. Pilih SRMI Marlo atau SRMI PRD. Apa itu?! Politik kok urusan memilih. Ohh... hampir kami lupa, bahwa politik sama dengan milih itulah yang dikembangkan oleh Rejim Soeharto, yang dulu dilawan oleh PRD. Ternyata justru cara pikir yang sama sekarang sedang diidap oleh para pimpinan PRD.

Atas dasar ketiga hal di muka saya selaku pimpinan SRMI menyatakan:

1. tidak lagi berafiliasi politik/ dan atau memisahkan diri dengan PRD.
Sekalipun terdapat upaya menggulingkan kepemimpinan SRMI yang sekarang dengan pelaksanaan KLB SRMI, kami anggap itu bukan berasal dari kehendak kader kader SRMI. Catatan organisasi kami akan dapat membuktikan dengan baik bahwa tidak terdapat persoalan apa apa di dalam organisasi SRMI sehingga perlu diadakan KLB. Sehingga KLB itu tidak sah, karena kami tidak dimintakan persetujuan, dan kami tidak pernah diundang.
2. SRMI akan berdiri sebagai organisasi massa independen yang akan terus membangun basis basis perlawanan rakyat secara sosial ekonomi politik dan budaya.

Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan dan terima kasih basnyak atas perhatiannya.

Jakarta, 24 Desember 2011
Hormat Kami,


(Marlo Sitompul)

Jumat, 17 Desember 2010

Petani Sawit Minta Pemerintah Usir Dua Perusahaan Sawit

  - Ribuan petani sawit dari Lampung Tengah dan Lampung Barat masih terus berunjuk rasa di depan kantor Gubernur Lampung Sjachroedin ZP, Rabo (15/12). Mereka menuntut pengembalian sertifikat dan lahan perkebunan yang telah diserobot perusahaan perkebunan sawit.

“Kami akan terus bertahan hingga dua perusahaan itu hengkang dan menyerahkan sertifikat lahan milik kami,” kata Munzier, koordinator petani asal Lampung Barat, Rabu (15/12).


Para petani yang datang dari tiga kecamatan di Lampung Barat dan satu dari Lampung Tengah itu meminta pemerintah Pemerinta Provinsi Lampung mengusir PT. Karya Canggih Mandiri Utama (KCMU) di Lampung Barat dan PT. Sahang Jaya di Lampung Tengah. Kedua perusahaan itu diduga tidak memiliki ijin meski telah beroperasi selama belasan tahun di Lampung. “Perusahaan perkebunan itu beroperasi secara illegal. Mereka harus diusir,” katanya.


Tudingan para petani plasma itu setelah Badan Pertanahan Nasional Lampung menyatakan kedua perusahaan itu tidak pernah minta ijin Hak Guna Usaha yang merupakan sarat beroperasinya sebuah perusahaan perkebunan. Hal itu terungkap setelah para petani, sehari sebelumnya, mendatangi kantor BPN Lampung untuk meminta kejelasan status HGU milik kedua perusahaan itu.

“Kedua perusahaan itu tidak pernah mengajukan ijin hak guna usaha. Mereka tidak memiliki hak untuk memanfaatkan lahan,” kata Alfarabi, kepala Bagian Pengaduan dan Mediasi Konflik Tanah BPN Lampung.


Selama ini keberadaan kedua perusahaan itu telah merugikan para petani plasma. Gusti Kadek, salah seorang petani plasma PT. KCMU mengaku hanya mendapatkan Rp. 30 ribu hingga Rp. 300 ribu untuk tiga hektar kebun sawit miliknya. “Itu pun dibayar setiap tiga bulan. Para petani yang sudah berkebun mandiri bisa mendapatkan Rp. 1,6 juta per hektar setiap bulan. Perbedaanya sangat jauh,” katanya.


Dihubungi secara terpisah, Pemerintah Provinsi Lampung belum bisa mengambil keputusan terhadap tuntutan petani. Mereka megaku akan mempelajari kasus tersebut. “Kami baru akan memanggil semua pihak yang terlibat. Jadi belum bisa diputuskan,” kata Asisten Bidang Kesejahteraan Rakyat Pemerintah Provinsi Lampung,


Di kutip dari : TEMPO Interaktif, Bndar Lampung
 ANTARA/Saptono

Rabu, 17 November 2010

Lahan Diukur Ulang






AKSI BERLANJUT: Warga tiga kampung mendirikan tenda di lahan eks PT Sahang Bandarlampung kemarin. (FOTO RNN)
    











PADANGRATU – Hingga    kemarin, warga tiga kampung –Sendangayu, Surabaya, dan Padangratu– di Kecamatan Padangratu, Lampung Tengah, masih menduduki lahan eks PT Sahang Bandarlampung. Mereka mengklaim sebagai pemilik sah lahan yang berada di Padangratu itu. Para warga itu mendirikan tenda di sekitar kantor PT Sahang Bandarlampung. Mereka bertekad melanjutkan aksinya hingga memperoleh kejelasan tentang status lahan.
’’Sampai hari ini (kemarin), kami masih bertahan di lahan samping kantor PT Sahang Bandarlampung,”  kata Ahmad Muslimin, koordinator umum aksi.
    Selama aksi, lanjut Ahmad, seorang warga bernama Panut menanam singkong. Itu dia dilakukan pada Minggu siang (7/11). ’’Panut mengaku masih memiliki bukti sah tentang kepemilikan tanah seluas dua hektare,” bebernya.  
Masih pada hari yang sama, sorenya, perwakilan tiga kampung, termasuk Ahmad, bertemu dengan kuasa Direktur PT Lambang Sawit Perkasa (yang mengakuisisi saham PT Sahang Bandarlampung) Tigor Silitonga di Rumah Makan Tippo Raya, Gunungsugih. Dalam pertemuan, kedua belah pihak menyepakati beberapa hal. Di antaranya, melakukan pengukuran ulang lahan hak guna usaha (HGU) seluas 238 hektare itu kemarin. ’’Jika luas lahan HGU itu lebih dari 238 hektare, kelebihannya bukan menjadi hak PT Sahang. Melainkan menjadi hak warga tiga kampung. Kesepakatan lainnya, perusahaan akan merealisasikan dana CSR (corporate social responsibility) di bidang sosial dan infrastruktur,” papar Ahmad.
    Masih kata Ahmad Muslimin, Senin (15/11), Tigor akan meninjau lahan HGU. ’’Kini kami sedang mempersiapkan konsep kerja sama antara warga dan perusahaan terkait pengolahan lahan itu,” sambungnya.
    Terpisah, Tigor menegaskan, pihaknya tidak bicara menang dan kalah dalam masalah ini. Tapi, bagaimana ke depan dapat terjalin kerja sama saling menguntungkan? ’’Kami sangat membuka diri untuk bermusyawarah dalam mencapai kemufakatan. Kami juga akan mempelajari konsep kerja sama itu,” jelasnya.


sumber radar lampung

Soal Lahan Eks PT. Sahang, Warga Tiga Kampung Rapat Akbar

PADANGRATU--Sekitar lima ratusan warga Kampung Sendangayu, Kampung Surabaya, dan Kampung Padangratu, Kecamatan Padangratu, Sabtu (30/10), menghadiri rapat akbar yang difasilitasi oleh Komite Pimpinan Wilayah Partai Rakyat Demokratis (KPW PRD) Provinsi Lampung. Itu terkait penyelesaian lahan eks PT Sahang Bandarlampung.
Mewakili Ketua KPW PDR Lampung Dewa Putu Adi Wibawa, Biro Administrasi dan Organisasi KPW PRD Lampung Ahmad Muslimin, menyampaikan bahwa agenda rapat akbar yang digelar di balai Kampung Sendangayu, Kecamatan Padangratu, adalah untuk persiapan pengambilalihan lahan rakyat yang dirampas oleh PT Sahang Bandarlampung/PT Lambang Jaya yang kini ditanami kelapa sawit oleh perusahaan tersebut sejak 2 tahun lalu.




Ahmad Muslimin mengatakan, saat pihaknya melakukan aksi bersama warga setempat di Kanwil BPN Provinsi Lampung, Bupati Lampung Tengah telah menerbitkan SK pencabutan ijin tanam pada lahan eks PT Sahang Bandarlampung dan SK tidak memperpanjang HGU kepada PT Sahang/PT Lambang Jaya.
Hal itu yang mendasari pihaknya menggelar rapat akbar bersama warga tiga kampung yang merasa memiliki lahan eks PT Sahang tersebut untuk diambil kembali. Karena lahan mereka selama ini dirampas oleh PT Sahang/ PT Lambang Jaya.
Masih dikatakan Ahmad Muslimin, pihaknya diminta warga dari 3 kampung untuk memfasilitasi, mendampingi, dan mengadvokasi dalam rangka mendapatkan kembali hak miliknya yang selama ini diambil oleh PT Sahang/PT Lambang Jaya.
Pihaknya juga akan melakukan upaya dalam rangka membantu masyarakat setempat untuk mendapatkan kembali hak miliknya tersebut. PRD juga menilai ada mafia hukum dalam persoalan tersebut dan pihaknya mensinyalir ada oknum aparatur pemerintah baik sipil maupun militer yang mem-backing persoalan tersebut.
Selain itu, masih kata Ahamad Muslimin, dalam agenda rapat tersebut dibahas penentuan titik penanaman lahan yang akan dilakukan oleh masyarakat, lalu titik pendirian posko dan pemasangan portal di Kampung Sendangayu dan Surabaya. Warga dari 3 kampung tersebut terutama yang memiliki lahan eks PT Sahang, akan menduduki dan menanami lahan tersebut mulai 6 November 2010 mendatang.
Dalam kesempatan itu, atas nama KPW PRD Lampung, Ahmad Muslimin mengharapkan agar Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah termasuk pimpinan yang baru nanti dapat memfasilitasi dan menyelesaikan konflik lahan eks PT Sahang tersebut.
Turut hadir dalam rapat itu, beberapa ormas, antara lain DPW Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI), dan Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMND).
M. Thaifur (75), salah satu sesepuh asal Kampung Surabaya, mengetahui kronologi tentang status tanah eks PT Sahang tersebut. Kepada Radar Lamteng (Grup Trans Lampung), Thaifur menceritakan bahwa tahun 1970 tanah warga disewa oleh orang Jepang (PT Sahang, Red) dengan kontrak sampai dengan 1995 atau selama 25 tahun. Dalam perjanjian sewa tersebut hak guna usaha (HGU) tanah akan digunakan menanam sahang (lada). Namun pada kenyataannya ditanami singkong dan jagung.
"Setelah batas waktu sewa habis, perusahaan tidak juga menyerahkan kepada kami. Justru tanah kami malah ditanami kelapa sawit dan tanpa kesepakatan. Selain itu, tanpa sepengetahuan kami perusahaan telah memperpanjang HGU sampai dengan 2008, dan ketika tahun 1984 sampai 2008 telah dikeluarkan HGU fiktif. Sejak 2008 justru lahan tersebut ditanami kelapa sawit atas nama PT Lambang Jaya," ujar Thaifur.
Sementara Kepala Kampung Sendangayu Sutarjo mengatakan, warga akan terus memperjuangkan dan mempertahankan tanah hak miliknya. Mereka akan terus berupaya sampai haknya dipenuhi. Oleh karenanya, dia juga turut mendukung apa yang menjadi keinginan warga untuk mengambil hak milik yang selama ini dirampas oleh PT Sahang Bandarlampung/PT Lambang Jaya.

sumber. Trans Lampung

Selamat Datang

Salam Pembebasan..................